Pintasan.co, Semarang – Pada tahun 2024, jumlah pekerja yang diberhentikan di Jawa Tengah tercatat sebanyak 9.133 orang. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan data yang disampaikan oleh Komisi IX DPR RI, yang menyebutkan adanya 13.700 pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di provinsi tersebut.
Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jateng, Ahmad Aziz, mengonfirmasi bahwa data riil tersebut diperoleh dari aplikasi SIGAP PHI, yang melaporkan kasus PHK di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Aplikasi ini memberikan informasi terkini tentang perusahaan yang melakukan PHK di berbagai daerah, termasuk jumlah PHK dan kasus yang masih dalam tahap mediasi.
Hingga Agustus 2024, tercatat 6.844 orang telah mengalami PHK, sementara 2.289 orang dirumahkan, sehingga totalnya mencapai 9.133 orang.
“Kunjungan DPR-RI Komisi IX (membahas) terkait banyaknya PHK, ada info Jateng terbanyak dibanding provinsi lain. Akhirnya ini bisa mengklarifikasi, mengonfirmasi, bahwa jateng tak sebanyak yang diberitakan,” kata Aziz setelah pertemuan di Ruang Rapat Disnakertrans Jateng pada Kamis (5/9/2024).
Baca Juga: Pemerintah Kabupaten Semarang Luncurkan Gula Kelappa: Aplikasi Penilaian Kinerja Guru Berbasis PMM
Meski demikian, Aziz mengakui adanya kasus PHK, terutama di sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Beberapa faktor yang mempengaruhi termasuk konflik geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina, resesi ekonomi di negara tujuan ekspor, kenaikan harga bahan baku, penurunan pesanan, dan banjirnya produk impor TPT.
Aziz memastikan bahwa langkah mitigasi sudah diambil, termasuk penyelesaian terkait pesangon dan hak jaminan sosial pekerja. Dia menegaskan bahwa PHK adalah langkah terakhir setelah upaya mediasi.
Aziz menjelaskan bahwa Jawa Tengah tetap menjadi pilihan utama untuk investasi. Ini terlihat dari tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang hanya mencapai 0,94 juta orang atau 4,39 persen, lebih rendah dibandingkan dengan Jawa Barat, Banten, dan Jakarta.
Menurutnya, banyak perusahaan yang memindahkan lokasi dan melakukan investasi di Jawa Tengah. Contohnya, ada rencana pembangunan pabrik alas kaki di Pekalongan yang akan membutuhkan 18 ribu pekerja, serta pabrik sepatu di KITB Batang dengan kapasitas 15 ribu pekerja.
“Djarum juga menginvestasikan pabrik di enam kabupaten, KEK Kendal membutuhkan 10 ribu lebih pekerja. Kesempatan kerja masih terbuka luas di Jateng,” jelasnya.
Selain itu, Pemprov Jateng juga berfokus pada peningkatan pendidikan vokasi dengan mengalokasikan APBD untuk perbaikan dan penambahan fasilitas Balai Latihan Kerja (BLK) milik Provinsi Jawa Tengah. Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menyoroti masalah pembayaran jaminan sosial pekerja. Berdasarkan klarifikasi lapangan, banyak pekerja yang tidak mendapatkan jaminan sosial karena beberapa perusahaan tidak membayar premi akibat masalah keuangan.
“Situasi ekonomi faktor geopolitik sedang susah, permintaan ekspor turun sehingga perusahaan melakukan efisiensi. Karena itu 13.700 (orang buruh di Jateng yang di-PHK) harus dijamin haknya. Perusahaan tidak boleh mengingkari pesangon, jaminan sosial dan jaminan kehilangan pekerjaan. Sebab dari angka itu hanya 9.700 yang JKP,” ujarnya.
Tedy menambahkan bahwa perbedaan data jumlah PHK harus diselidiki lebih lanjut.
“Data dari Kemenaker RI (13.700 orang buruh PHK) kan data umum. Kalau data dari dinas 9.700 (orang buruh PHK) itu data fluktuasi riil. Perbedaan data harus diklarifikasi, tadi data dari (serikat) buruh juga 9.700 (orang), tentu masing masing pihak harus telusur ulang, mungkin ada yang tak terdata atau tidak lapor,” jelasnya.
Kunjungan tersebut dipimpin oleh Ketua Komisi IX DPR-RI, Kurniasih Mufida, bersama Staf Ahli Menaker Bidang Sosial, Budaya, Politik, dan Kebijakan Publik, Ismail Pakaya, serta Direktur Pelayanan BPJS Ketenagakerjaan, Roswita Nilakurnia.