Pintasan.co, Yogyakarta – Taman Siswa adalah sebuah organisasi pendidikan alternatif yang didirikan oleh Suwardi Suryaningrat, yang lebih dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara. Organisasi ini didirikan pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta.
Dalam penyelenggaraan pendidikannya, Taman Siswa selalu menekankan prinsip nasionalisme dan kebebasan. Selain itu, Taman Siswa juga bersikap non-kooperatif terhadap pemerintahan kolonial Belanda.
Pendirian Taman Siswa oleh Ki Hadjar Dewantara adalah bentuk perlawanan terhadap diskriminasi pendidikan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Seperti dijelaskan dalam buku Munculnya Elite Modern Indonesia (2009) karya Robert Van Niel, pada masa Politik Etis (1901-1916), Belanda menerapkan sistem pendidikan berjenjang yang dibedakan berdasarkan status sosial masyarakat Indonesia.
Rakyat biasa hanya diizinkan menempuh pendidikan setingkat Sekolah Dasar (SD), sementara kalangan priyayi dan bangsawan Eropa dapat mengakses pendidikan tinggi, bahkan banyak dari mereka yang berkesempatan kuliah di Eropa.
Melihat kondisi sosial dan ketidaksetaraan pendidikan tersebut, Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa sebagai media perjuangan melawan kolonialisme Belanda.
Organisasi Taman Siswa menanamkan prinsip-prinsip kemerdekaan kepada masyarakat pribumi Indonesia.
Kemerdekaan yang diajarkan di Taman Siswa adalah kemerdekaan yang bersumber dari dalam diri sendiri. Pendidikan di sana selalu mengarahkan siswa untuk mandiri, tidak bergantung pada orang lain, dan berpegang teguh pada prinsip berdikari, atau berdiri di atas kaki sendiri.
Menurut jurnal Semangat Taman Siswa dan Perlawanannya terhadap Undang-Undang Sekolah Liar (1994) karya Dwi Purwoko, keberadaan Taman Siswa menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemerintah Belanda.
Pada tahun 1930, Belanda menerbitkan Wilde Scholen Ordonantie atau Undang-Undang Sekolah Liar, yang bertujuan untuk membatasi perkembangan pendidikan alternatif di Indonesia, termasuk Taman Siswa.
Setelah UU Sekolah Liar diberlakukan, Belanda menutup seluruh aktivitas Taman Siswa dan membatasi ruang gerak para pengajarnya.
Meskipun demikian, penutupan ini tidak menghentikan kegiatan pendidikan di Taman Siswa. Guru dan murid tetap melanjutkan proses belajar-mengajar secara sembunyi-sembunyi atau bergerilya.