Pintasan.co, Sidoarjo – Chusnul Chotimah, yang merupakan penyintas Bom Bali I menyampaikan surat terbuka ke Presiden Prabowo.
Pihaknya meminta anggaran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), terutama untuk pengobatan penyintas tidak dipotong imbas efisiensi.
Surat terbuka itu disampaikan lewat media sosial facebook dan TikTok pribadinya dengan harapan bisa didengar presiden. Dan bisa didengar oleh
“Surat terbuka untuk Bapak Presiden RI Prabowo Subianto dan Wakil Presiden RI Gibran. Perkenalkan nama saya Chusnul Chotimah asal Sidoarjo, Jawa Timur. Saya salah satu penyintas Bom Bali I 12 Oktober 2002. Anak saya 3 dan satu anak saya yang bungsu skrg lagi menderita sakit von willebrand disease dimana obat untuk kemo tidak ditanggung dengan BPJS,” ujar Chusnul membuka suratnya, Jumat (14/2/2025).
Setelah memperkenalkan diri, ia meminta agar Prabowo membatalkan pemangkasan anggaran terhadap LPSK, utamanya biaya pengobatan para penyintas.
“Saya mohon kepada Bapak Presiden RI Prabowo Subianto untuk membatalkan pemangkasan anggaran terhadap LPSK karena biaya pengobatan saya dari tahun 2018 akhir sampai sekarang ditanggung oleh LPSK. Dengan adanya pemangkasan anggaran LPSK bapak, ada perasaan cemas dan khawatir dari saya akan dihapusnya biaya pengobatan saya dari LPSK,” ucapnya.
“Sedangkan saat ini pak saya dengan hadirnya LPSK di kurun waktu 2018 sampai sekarang saya merasakan hidup itu sudah alhamdulillah dan bisa merasakan benar-benar hidup seperti manusia layaknya,” lanjutnya.
Dalam surat itu Chusnul juga menceritakan bagaimana sulitnya hidup yang dirasakan sebagai penyintas bom Bali sebelum mendapatkan bantuan dari negara.
“Di dalam kurun waktu 2002-2018 sebelum negara hadir dan LPSK hadir, hidup saya sangat terpuruk sekali. Dimana untuk biaya pengobatan dari luka Bom Bali, saya menderita luka bakar 70% dan
sampai sekarang masih ada serpihan logam di bawah kaki saya sini 4 biji dan ada lagi 1 biji serpihan logam di payudara tidak bisa dioperasi,” ujarnya.
Chusnul sangat berterima kasih dengan hadirnya bantuan dari negara lewat LPSK ini bisa menjamin biaya pengobatannya.
Namun jika nantinya biaya pengobatannya terhapus dari anggaran LPSK akibat efisiensi, ia tak yakin bisa menjalani hidup dengan layak.
Bahkan ia sekali lagi meminta untuk disuntik mati saja karena beban yang ditanggungnya.
Sebab selain menderita cacat seumur hidup, Chusnul juga harus menanggung biaya pengobatan anak bungsunya yang menderita sakit kronis.
Biaya sekali pengobatan bisa mencapai Rp 14 juta dan tidak bisa ditanggung oleh BPJS.
“Kalau memang negara melepaskan begitu pak, saya sudah ndak bisa berpikir secara positif dan pikiran saya hanya ada negatif karena saya sudah merasa nggak bisa lagi untuk berobat dan gak bisa mengobatkan anak saya. Jadi alangkah lebih baiknya kalau negara suntik mati saya aja pak sama anak saya. Saya sudah pasrah,” ungkapnya.
Dia berharap anggaran LPSK untuk para penyintas tidak ikut terdampak demi keberlangsungan hidupnya dan keluarga.
“Oleh karena itu bapak presiden yang tercinta dan bapak wakil presiden tang tercinta bantulah kami semua dengan pembatalan pemangkasan anggaran terhadap LPSK ini pak. Mohon, mohon dengan sangat pak untuk kelanjutan hidup saya dan anak-anak saya. Terima kasih,” pungkasnya.
Sebelumnya Presiden RI Prabowo Subianto telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 1 Tahun 2025 tentang efisiensi APBN dan APBD.
Hal itu diperjelas dengan surat Menteri Keuangan nomor S-37/ MK.02/2025 tentang Efisiensi Belanja Kementerian/Lembaga dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025.