Pintasan.co,Cirebon – Rizal, seorang nelayan berusia 47 tahun yang tinggal di perkampungan Nelayan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, tampak sedang duduk santai di bangku dekat muara, menikmati sepoi angin laut. 

Dia sudah menjalani profesinya sebagai nelayan sejak berusia 15 tahun, namun kini kehidupannya semakin sulit. Rizal menceritakan bahwa mencari ikan di laut kini semakin susah. 

“Untuk pendapatannya tergantung musim, dulu kalau musimnya bagus, 1 jam berangkat saja sudah dapat banyak, bisa sampai 50 kilo, tapi sekarang lagi nggak musim, nyari 10 atau 5 kilo saja sulit, kadang malah nggak dapat,” ungkapnya dengan nada kecewa.

Rizal mengingatkan masa-masa keemasannya sebagai nelayan pada sekitar tahun 2001 hingga 2005, di mana dalam sehari ia bisa menghasilkan omzet antara Rp 500.000 hingga Rp 600.000 dari hasil tangkapan. 

Namun, kini, ia hanya bisa memperoleh sekitar Rp 100.000 hingga Rp 200.000 per hari. Untuk sekali melaut, ia harus membeli bahan bakar solar sebanyak 10 liter yang harganya sekitar Rp 70.000. 

“Setiap hari berangkat, pagi berangkat, pulang jam 12 siang. Untuk dapatnya mah nggak pasti, mau nggak cukup yah nggak cukup, mau bilang cukup yah dicukup-cukupin saja, paling kalau lagi ramai dapatnya Rp 200.000, kalau lagi sepi paling Rp 100.000 tapi itu masih kotor, belum buat beli solar, ditambah kalau beli solar itu susah, harus pakai syarat buat barcode gitu, padahal nelayan kan banyak yang buta huruf,” keluh Rizal.

Menurutnya, salah satu penyebab semakin sulitnya mendapatkan ikan adalah karena banyaknya kapal besar yang beroperasi di laut, menggunakan alat tangkap besar seperti purse seine yang menguras sumber daya ikan. 

“Sekarang kebanyakan nelayan modern yang beroperasi dengan kapal besar, yang berasal dari Kejawanan atau dari luar negeri juga ada. Beda kayak dulu, kebanyakan nelayan kecil kayak saya, nangkepnya juga pakai jaring, tapi kalau kapal besar, alat tangkapannya pakai purse seine yang besar. Jadi nelayan belum dapat ikan, tapi ikannya sudah habis semua, karena sudah diambil semua pakai purse seine,” paparnya.

Hal ini menyebabkan nelayan kecil seperti Rizal kesulitan mendapatkan hasil tangkapan.

Baca Juga :  Nelayan di DIY Diimbau Tunda Melaut Jika Terjadi Gelombang Tinggi akibat Potensi Cuaca Ekstrem

Rizal juga mengungkapkan adanya ketegangan antar nelayan akibat perebutan wilayah penangkapan ikan.

Meski kebanyakan konflik ini hanya sebatas adu mulut, namun perebutan ini semakin menambah tekanan dalam pekerjaan mereka. 

“Kalau saling melarang, nanti ribut di laut, gara-gara masalah penangkapan lahan ikan ini, misal dia menabrak jaringnya kita, tapi cuman bertengkarnya di mulut saja,” ujarnya.

Namun meskipun kehidupannya semakin sulit, Rizal berusaha menghindari utang. Baginya, berutang adalah jalan yang harus dihindari karena dapat menambah beban di masa depan. 

“Saya alhamdulillah modal sendiri, nggak pinjem, masih bisa bertahan, yah dikuat-kuatin saja buat nggak pinjam, soalnya kalau pinjem takut nggak ada hasil, malah ditagih utang, jadi nambah beban pikiran, udah seadanya saja,” ungkapnya.

Rizal memilih untuk hidup dengan apa adanya, berusaha bertahan tanpa bergantung pada utang.

Meski berada dalam kondisi serba terbatas, Rizal berhasil menyekolahkan kedua anaknya hingga perguruan tinggi. 

“Anaknya dua, yang satu sudah SMK Kelas 3, yang satunya lagi itu sudah kuliah, bahkan sekarang mau lanjut S2. Karena pendidikan penting, meski saya buta huruf, dan sekolah SD saja saya nggak tamat, masa anaknya mau nggak tamat lagi,” kata Rizal dengan bangga.

Ia terus berusaha menabung dari hasil bekerja sebagai nelayan untuk memastikan anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang layak.

Rizal berharap pemerintah dapat lebih memperhatikan nasib nelayan kecil seperti dirinya, agar mereka dapat hidup sejahtera dan memberikan yang terbaik untuk keluarga, termasuk dalam hal pendidikan anak. 

“Semoga pemerintah terbuka pikirannya untuk membantu nelayan supaya sejahtera, untuk menghidupi dan menyekolahkan anak, yah perhatikan lah nelayan,” harapnya.