Pintasan.co, Jakarta – Mahkamah Agung (MA) resmi membatalkan vonis bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur dalam kasus kematian Dini Sera Afrianti.
Dalam putusan kasasi, MA menjatuhkan hukuman lima tahun penjara kepada Ronald.
Meski demikian, Ketua Majelis Kasasi Soesilo mengajukan dissenting opinion (DO), menyatakan putusan bebas dari Pengadilan Negeri (PN) Surabaya sudah sesuai.
Salinan putusan bernomor 1466 K/Pid/2024 yang diunggah MA pada Senin (9/12/2024) menunjukkan adanya perbedaan pendapat di antara para hakim.
Soesilo berpendapat bahwa majelis hakim PN Surabaya tidak salah dalam menerapkan hukum saat membebaskan Ronald.
“Putusan majelis hakim PN telah mempertimbangkan fakta hukum secara yuridis sesuai dengan alat bukti yang sah,” tulis Soesilo dalam salinan putusan tersebut.
Rekonstruksi Kejadian dan Visum
Soesilo merujuk pada rekaman CCTV di parkiran Lenmarc, Surabaya, yang menunjukkan adanya perselisihan antara Ronald dan Dini.
Dalam video tersebut, Dini terlihat menampar Ronald sebelum didorong. Posisi tubuh Dini yang berada di sisi kiri mobil Ronald juga dipertimbangkan dalam analisis.
Dini masih hidup saat dibawa ke apartemen Ronald dan kemudian ke rumah sakit, di mana ia akhirnya dinyatakan meninggal.
Hasil visum menunjukkan Dini mengalami luka robek pada organ hati akibat kekerasan benda tumpul, namun Soesilo menilai hasil visum tidak secara langsung membuktikan Ronald sebagai pelaku utama.
“Tidak ada alat bukti yang cukup untuk menyatakan bahwa terdakwa melindas tubuh korban atau menjadi penyebab utama kematian,” tambahnya.
Putusan Kasasi Berbeda
Meski Soesilo memiliki pendapat berbeda, dua hakim kasasi lainnya menyatakan Ronald bersalah atas penganiayaan yang menyebabkan kematian.
Dalam pertimbangan, hakim menyebut Ronald tidak mengakui perbuatannya, mempersulit persidangan, dan berusaha menghindari tanggung jawab.
“Menjatuhkan hukuman lima tahun penjara kepada terdakwa atas tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian,” demikian bunyi putusan.
Skandal Suap di Balik Vonis Bebas
Vonis bebas yang sebelumnya dikeluarkan PN Surabaya diduga terkait dengan praktik suap yang melibatkan ibu Ronald, Meirizka Widjaja.
Kejaksaan Agung menetapkan enam tersangka dalam kasus ini, termasuk tiga hakim PN Surabaya yang mengadili Ronald, yakni Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo.
Meirizka diduga meminta bantuan kepada Lisa Rahmat, seorang pengacara, untuk memengaruhi putusan pengadilan.
Lisa kemudian bekerja sama dengan Zarof Ricar, mantan pejabat MA, yang menghubungkan kasus ini dengan tiga hakim PN Surabaya.
Skandal ini menambah sorotan negatif terhadap integritas lembaga peradilan di Indonesia, khususnya terkait praktik suap dalam pengambilan keputusan hukum.