Pintasan.co, Jakarta Jaringan Aktivis Nusantara (JAN) menyampaikan kritik dan rekomendasi kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), terkait permasalahan agraria yang belum tertangani secara optimal. Sejak dilantik pada Februari 2024, JAN menilai bahwa berbagai isu pertanahan, seperti konflik agraria, mafia tanah, dan lambatnya realisasi reforma agraria, masih belum mendapat solusi konkret.

Data terbaru dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa sepanjang tahun 2023 terdapat lebih dari 250 kasus konflik agraria yang mencakup lahan seluas lebih dari 600.000 hektar. Konflik ini banyak terjadi di wilayah perkebunan, pertambangan, dan proyek infrastruktur strategis.

JAN menyoroti bahwa masyarakat adat dan petani kecil menjadi korban utama dalam konflik-konflik ini, yang disebabkan oleh ketidakjelasan status kepemilikan tanah dan penyerobotan lahan oleh perusahaan besar.

“Masalah ini perlu segera diselesaikan. AHY diharapkan mampu membentuk tim khusus yang berfokus pada penyelesaian konflik agraria dengan melibatkan masyarakat, lembaga non-pemerintah, dan perusahaan terkait,” ujar Ketua JAN, Romadhon Jasn, di Jakarta, Jumat (13/9/2024).

JAN juga menekankan pentingnya mediasi yang lebih cepat dan transparan, agar konflik agraria tidak berlarut-larut dan menimbulkan kerugian yang lebih besar, baik bagi masyarakat maupun negara.

Masalah mafia tanah juga menjadi sorotan utama JAN. Data dari BPN menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2023, terdapat lebih dari 600 kasus mafia tanah yang dilaporkan. Mafia tanah sering kali terlibat dalam pemalsuan sertifikat dan manipulasi data pertanahan, yang menyebabkan masyarakat kehilangan hak atas lahan yang mereka miliki secara sah.

JAN menilai bahwa upaya pemberantasan mafia tanah belum maksimal. “AHY perlu memperkuat kerja sama dengan aparat penegak hukum, termasuk Kepolisian dan Badan Intelijen Negara (BIN), untuk menindak tegas para pelaku mafia tanah. Tanpa tindakan yang serius, mafia tanah akan terus merusak sistem pertanahan di Indonesia,” ujar Romadhon.

Baca Juga :  Dedi Mulyadi Datangi Rumah Pendemo yang Ngaku Tak Makan 18 Hari dan Digugat Cerai Istri

Selain itu, JAN merekomendasikan percepatan digitalisasi sertifikasi tanah melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), yang diharapkan dapat meminimalkan manipulasi data dan mempercepat proses administrasi tanah.

Reforma agraria menjadi salah satu program utama pemerintah untuk mengurangi ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia. Namun, menurut data Kementerian ATR, dari target redistribusi 9 juta hektar lahan**, baru sekitar 4,5 juta hektar yang telah terealisasi hingga tahun 2023. JAN menilai capaian ini belum optimal, terutama karena banyak lahan yang masih diperebutkan oleh berbagai pihak, termasuk perusahaan besar dan pemerintah daerah.

“Reforma agraria harus dipercepat. AHY harus lebih proaktif dalam melakukan pemetaan lahan yang bisa didistribusikan kepada masyarakat, terutama melalui penggunaan teknologi seperti GIS (Geographic Information System),” jelas Romadhon.

JAN merekomendasikan agar program reforma agraria lebih fokus pada masyarakat kecil dan petani, dengan memastikan bahwa lahan yang didistribusikan dapat dikelola secara produktif dan memberikan manfaat ekonomi bagi mereka.

Dengan berbagai tantangan yang dihadapi di sektor pertanahan, Jaringan Aktivis Nusantara mendesak AHY untuk segera mengambil langkah konkret. Penyelesaian konflik agraria, pemberantasan mafia tanah, dan percepatan reforma agraria adalah tiga isu krusial yang perlu segera ditangani.

JAN berharap, dengan langkah-langkah tersebut, Indonesia dapat mencapai tata kelola pertanahan yang lebih adil dan berkelanjutan dalam waktu dekat.