Pintasan.co, Jakarta – Toxic masculinity merujuk pada norma-norma maskulinitas tradisional yang dapat memberikan dampak negatif baik terhadap individu laki-laki maupun masyarakat secara keseluruhan.
Norma-norma ini sering kali menekankan aspek-aspek seperti kekuatan fisik, dominasi, penghindaran emosi, serta ketidakpedulian terhadap kesejahteraan orang lain.
Ciri-ciri toxic masculinity mencakup beberapa hal, antara lain penekanan pada kekuatan fisik, di mana laki-laki diharapkan selalu kuat dan tidak menunjukkan kelemahan atau perasaan mereka.
Selain itu, ada norma dominasi dan kontrol yang mengharuskan laki-laki untuk selalu mengendalikan situasi dan orang-orang di sekitarnya.
Penghindaran terhadap emosi juga menjadi ciri lain, dengan anggapan bahwa laki-laki tidak boleh menampilkan perasaan seperti kesedihan atau ketakutan.
Toxic masculinity juga mendorong agresivitas dan kompetitifitas yang berlebihan, serta seksisme yang menganggap perempuan sebagai objek seksual atau posisi yang lebih rendah dalam masyarakat.
Tidak hanya itu, homofobia, yaitu ketakutan atau kebencian terhadap homoseksualitas, juga seringkali terkait dengan manifestasi toxic masculinity.
Penyebab toxic masculinity
Penyebab toxic masculinity dapat berasal dari berbagai faktor yang saling berinteraksi, seperti norma budaya yang mendewakan peran laki-laki yang keras dan dominan, serta ekspektasi sosial yang membatasi ekspresi emosional mereka.
Sejak usia dini, laki-laki sering diajarkan untuk menunjukkan ketangguhan dan menghindari kerentanannya, yang dapat menghambat perkembangan emosional yang sehat.
Pengaruh media dan stereotip gender juga turut memperkuat pandangan bahwa kekuatan fisik, dominasi, dan penghindaran emosi adalah ciri utama dari maskulinitas yang ideal.
Selain itu, pola asuh dalam keluarga dan pengalaman sosial yang menekankan peran tradisional laki-laki dapat semakin memperdalam penerimaan terhadap perilaku-perilaku yang merugikan ini.
Contoh toxic masculinity dapat terlihat pada perilaku seorang laki-laki yang selalu merasa perlu menang dalam setiap perdebatan, enggan meminta bantuan karena takut dianggap lemah, atau bahkan melecehkan perempuan karena merasa lebih berhak.
Dampak negatif dari toxic masculinity sangat besar, tidak hanya bagi individu, tetapi juga hubungan antarpribadi dan masyarakat secara keseluruhan.
Oleh karena itu, penting untuk mengatasi masalah ini melalui pendidikan sejak dini mengenai kesetaraan gender dan ekspresi emosi yang sehat, mendorong laki-laki untuk terbuka tentang perasaan mereka dan mencari bantuan saat dibutuhkan, serta mengubah norma sosial yang mendukung perilaku tersebut.
Selain itu, pemberdayaan perempuan untuk memastikan kesetaraan hak juga merupakan langkah yang krusial.
Toxic masculinity dapat membawa dampak yang merugikan bagi berbagai pihak. Bagi laki-laki, tekanan untuk selalu tampil sempurna seringkali menyebabkan kesulitan dalam menjalin hubungan yang sehat, serta meningkatkan risiko masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan.
Selain itu, norma-norma ini juga dapat mendorong perilaku kekerasan. Bagi perempuan, dampak yang ditimbulkan antara lain diskriminasi, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan seksual.
Di tingkat masyarakat, toxic masculinity dapat berkontribusi pada ketidaksetaraan gender, peningkatan kekerasan, serta masalah kesehatan mental yang lebih luas.
Penulis: Umi Hanifah (Content Writer Pintasan.co)