Pintasan.co, Jakarta – Walaupun Indonesia hanya memiliki dua musim, transisi antara musim kemarau dan musim hujan tetap membawa dampak yang signifikan terhadap kesehatan masyarakat. Saat musim hujan, masyarakat umumnya terbiasa dengan suhu yang lebih dingin dan tingkat curah hujan yang tinggi.
Namun, ketika memasuki bulan April, cuaca berangsur menjadi lebih hangat, sehingga masyarakat harus kembali menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.
Selama ini, perubahan iklim lebih sering dianggap hanya berdampak pada lingkungan dan ekosistem. Namun, kondisi cuaca yang berubah secara ekstrem terbukti berdampak luas, baik dari segi kesehatan fisik maupun psikologis.
Dampak Fisik Perubahan Iklim
Perubahan iklim memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan manusia, baik secara fisik maupun mental.
Cuaca panas yang berlebihan dapat memicu masalah kesehatan jantung, terutama jika disertai dehidrasi yang berisiko menyebabkan kerusakan otak.
Selain itu, suhu yang ekstrem dapat meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang bisa berkembang menjadi pneumonia, serta memperburuk kualitas udara akibat kebakaran hutan yang meningkatkan jumlah asap.
Perubahan suhu juga berpotensi meningkatkan penyebaran penyakit seperti tuberkulosis (TBC), diare, dan infeksi lainnya.
Cuaca ekstrem, baik panas maupun dingin, dapat menurunkan daya tahan tubuh, membuat individu lebih rentan terhadap penyakit.
Perubahan suhu yang lebih hangat juga meningkatkan frekuensi penyerbukan bunga, yang berimbas pada peningkatan kadar serbuk sari di udara, memperburuk kondisi alergi bagi sebagian orang.
Selain itu, perubahan iklim menyebabkan kondisi yang ideal bagi berkembangnya nyamuk penyebab penyakit seperti demam berdarah dengue (DBD) dan malaria.
Banjir dan kekeringan yang sering terjadi akibat perubahan iklim juga mempengaruhi kebersihan lingkungan dan ketersediaan air bersih, meningkatkan risiko diare.
Dampak perubahan iklim terhadap kesehatan mental manusia
Selain dampak fisik, perubahan iklim turut memengaruhi kesehatan mental manusia. Cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi dan bencana alam yang sulit diprediksi dapat menyebabkan stres dan trauma bagi mereka yang terdampak.
Paparan terhadap perubahan cuaca yang tidak menentu ini juga dapat memperburuk kesejahteraan mental masyarakat, memperlihatkan bahwa perubahan iklim tidak hanya berdampak pada kondisi fisik tetapi juga pada kualitas hidup secara keseluruhan.
Perubahan cuaca, terutama saat transisi musim, sangat memengaruhi kesehatan kita. Ada dua hal utama yang perlu diperhatikan.
Cuaca panas meningkatkan risiko dehidrasi. Oleh karena itu, penting untuk selalu minum air putih yang cukup. Selain air putih, minuman seperti teh herbal dan jus buah juga baik dikonsumsi. Hindari minuman berkafein berlebihan dan jangan tunggu hingga haus untuk minum.
Perubahan musim sering memicu alergi, terutama akibat serbuk sari. Untuk mengurangi gejala alergi, hindari paparan alergen dengan menutup jendela dan menghindari aktivitas di luar ruangan saat jumlah serbuk sari tinggi. Jika mengalami alergi, sebaiknya konsultasi dengan dokter untuk mendapatkan pengobatan yang tepat.
Perubahan iklim bukan lagi sekadar ancaman bagi lingkungan, tetapi juga menjadi ancaman nyata bagi kesehatan manusia.
Fluktuasi cuaca yang ekstrem telah menunjukkan betapa rentannya kita terhadap dampak perubahan iklim.
Oleh karena itu, kita perlu meningkatkan kesadaran dan kesiapsiagaan untuk menghadapi tantangan kesehatan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.
Dengan menjaga kesehatan tubuh, menerapkan gaya hidup sehat, dan mengikuti anjuran pemerintah, kita dapat meminimalkan risiko dampak negatif perubahan iklim terhadap kesehatan.
Penulis: Umi Hanifah (Content Writer Pintasan.co)