Pintasan.co, Jakarta – Sekitar 20.000 orang menggelar unjuk rasa di Kota Davao, Filipina, pada Minggu, untuk mendesak pembebasan dan pemulangan mantan Presiden Rodrigo Duterte.
Duterte kini sedang diadili di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terkait tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi selama perang melawan narkoba yang dipimpinnya.
Para pendukung Duterte mengubah perayaan ulang tahun ke-88 Kota Davao, yang merupakan kota kelahiran Duterte, menjadi aksi demonstrasi yang menunjukkan dukungan serta seruan untuk pemulangan Duterte. Protes ini juga diwarnai dengan doa bersama di Rizal Park, yang terletak dekat dengan balai kota.
Pada Rabu (12/3), Duterte dibawa ke Den Haag untuk menghadapi persidangan. Ia ditangkap di Bandara Internasional Manila saat baru tiba dari Hong Kong.
Duterte dituduh bertanggung jawab atas ribuan pembunuhan di luar hukum yang terjadi selama perang melawan narkoba yang penuh kekerasan.
Ia muncul melalui tautan video di Ruang Praperadilan Satu ICC pada Jumat (14/3) untuk sidang awal yang membahas dakwaannya.
Sidang yang dipimpin oleh Hakim Julia Antoanella Motoc itu merupakan bagian dari proses prosedural untuk mengonfirmasi identitas Duterte, memberitahukan hak-haknya, menyampaikan dakwaan secara resmi, dan menetapkan tanggal untuk sidang lanjutan.
Duterte, melalui putrinya, Wakil Presiden Sara Duterte, menenangkan para pendukungnya dengan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Berbicara di hadapan warga Filipina yang berkumpul di luar gedung ICC untuk mendukung ayahnya, Sara menyampaikan bahwa ia sempat mengunjungi ayahnya di tempat penahanan beberapa jam sebelum Duterte pertama kali tampil di hadapan hakim ICC.
“Jadi, katanya, katakan kepada mereka (para pendukungnya): ‘Santai saja. Ada akhir dari segalanya. Ada hari pembalasan.’ Jadi, itulah pesannya kepada kalian semua,” ujar putri Duterte.
Selama masa jabatan Duterte dari 2016 hingga 2022, sedikitnya 6.252 orang dilaporkan tewas dalam operasi antinarkoba yang dilakukan oleh polisi Filipina.
Kelompok hak asasi manusia melaporkan bahwa lebih dari 27.000 orang menjadi korban pembunuhan dengan cara main hakim sendiri selama perang melawan narkoba tersebut.