Pintasan.co, Jakarta – Kebijakan keterwakilan perempuan 30% di kabinet Indonesia, yang dikenal dengan sebutan “Kebijakan 30% Keterwakilan Perempuan”, merupakan langkah penting dalam mendorong kesetaraan gender di ranah politik dan pemerintahan.

Kebijakan ini direspon dengan beragam pandangan, terutama dalam transisi kepemimpinan antara Presiden ke-7 Joko Widodo dan Presiden sekarang Prabowo Subianto.

Meskipun Indonesia telah menunjukkan komitmen terhadap pemberdayaan perempuan, pencapaian representasi perempuan di kabinet masih menghadapi tantangan, terutama dalam mengimplementasikan angka 30% yang dijanjikan.

Di masa pemerintahan Jokowi, kebijakan ini mulai diberlakukan dengan memperkenalkan keterwakilan perempuan dalam kabinet yang sebelumnya tidak begitu mencolok.

Pada periode pertama (2014-2019), terdapat 6 perempuan dalam kabinet Jokowi, yang berjumlah sekitar 26%.

Pada periode kedua (2019-2024), Jokowi meningkatkan jumlah ini menjadi 9 perempuan, yang mencapai sekitar 30%.

Namun, meskipun ada pencapaian ini, sektor politik dan pemerintahan masih cenderung dikuasai oleh kaum laki-laki, dan tantangan terbesar adalah memastikan perempuan bukan hanya sekadar hadir, tetapi juga memiliki peran yang signifikan dalam pengambilan keputusan.

Menurut data terbaru dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) pada tahun 2024, angka keterwakilan perempuan di kursi parlemen Indonesia masih terbilang rendah, yakni sekitar 20,5%.

Sementara itu, angka tersebut menunjukkan ada kemajuan, kebijakan 30% keterwakilan perempuan di kabinet seharusnya bisa memberikan dampak lebih besar pada kesetaraan akses dan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan.

Dalam konteks transisi ini, kita juga harus melihat peran serta dan komitmen Prabowo dalam meneruskan atau bahkan meningkatkan kebijakan ini.

Presiden Prabowo Subianto mengumumkan 48 nama menteri dan 5 pejabat setingkat menteri yang akan membantu pemerintahannya bersama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk periode 2024 – 2029 dalam kabinet Merah Putih pada Minggu malam, 20 Oktober 2024 beberapa jam setelah Prabowo-Gibran dilantik.

Menteri perempuan dalam Kabinet Merah Putih

Dari 53 nama tersebut, hanya 5 menteri yang berjenis kelamin perempuan, yakni  Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Viada Hafid, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Rini Widyantini, Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana, serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifatul Choiri Fauzi.

Baca Juga :  Pemerintahan Presiden Prabowo: Akselerasi Kebijakan untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi 8%

Meskipun ditambah dengan wakil menteri, proporsinya tetap timpang, karena hanya 8 wakil menteri perempuan dari 56 wakil menteri yang dipilih. Artinya keterwakilan perempuan dalam kabinet Prabowo-Gibran hanya 13%, sangat jauh dari afirmasi 30% keterwakilan perempuan.

Proporsi perempuan di kabinet ini terdiri atas 1 orang petahana di posnya dari era presiden Joko Widodo dan empat pendatang baru.

Rendahnya jumlah perempuan di kabinet Merah Putih menunjukkan bahwa keberpihakan Prabowo terhadap pentingnya komposisi gender harus dipertanyakan.

Selain itu penempatan perempuan di kementerian juga tidak berada dalam sektor-sektor strategis untuk menyelesaikan banyak persoalan yang dialami perempuan.

Menteri PPPA masih diisi perempuan sesuai tradisi, namun perempuan tidak diperhitungkan dalam isu kesehatan, ketenagakerjaan, sosial, dan pendidikan. 

Perempuan dalam kabinet ini juga baru dipercaya untuk memimpin satu kementerian, sedangkan menteri koordinator seluruhnya laki-laki. 

Tantangan lain yang mungkin muncul adalah keberlanjutan kebijakan ini pasca-Jokowi. Proses penentuan menteri dalam kabinet baru di bawah Prabowo harus dilihat dengan saksama.

Agar kebijakan 30% keterwakilan perempuan tidak hanya menjadi angka statistik, tetapi benar-benar memberi dampak dalam pengambilan kebijakan yang lebih inklusif.

Jika komitmen terhadap kesetaraan gender ini diteruskan dan diimplementasikan secara konsisten, Indonesia dapat menjadi contoh bagi negara-negara lain dalam mengatasi ketimpangan gender di sektor politik.

Secara keseluruhan, meskipun kebijakan keterwakilan perempuan 30% di kabinet merupakan langkah positif yang harus dihargai, implementasinya harus lebih jauh dari sekadar angka.

Agar perempuan bisa benar-benar terlibat dalam pembentukan kebijakan negara, dibutuhkan pemahaman lebih dalam mengenai pentingnya keberagaman gender di posisi pengambil keputusan, bukan hanya sebatas quota, tetapi juga substansi dan kualitas keterlibatan perempuan dalam setiap aspek politik.

Penulis : Desti Aulia Cabang Malang Badko Jawa Timur