Pintasan.co, Jakarta – Revisi sejarah Indonesia sejatinya merupakan bagian dari upaya ilmiah untuk memperkaya dan memperluas pemahaman kita terhadap masa lalu bangsa. Dalam konteks ini, banyak pihak berpendapat bahwa sejarah tidak seharusnya dipandang sebagai sesuatu yang statis atau final, melainkan sebagai narasi yang terbuka terhadap peninjauan kembali seiring munculnya data baru, kesaksian yang selama ini diabaikan, dan perspektif yang lebih beragam.
Langkah ini tidak semata-mata bertujuan untuk mengubah narasi lama, tetapi untuk meluruskan fakta yang mungkin selama ini disusun secara sepihak, misalnya karena kepentingan politik tertentu.
Revisi sejarah juga dianggap penting agar kelompok-kelompok yang sebelumnya disisihkan—seperti minoritas, tokoh-tokoh alternatif, daerah-daerah di luar pusat kekuasaan, serta perempuan dan rakyat biasa—dapat memperoleh tempat yang layak dalam memori kolektif bangsa. Meski demikian, proses ini tidak lepas dari tantangan, mulai dari resistensi politik, keterbatasan akses terhadap sumber primer, hingga minimnya minat publik terhadap kajian sejarah yang lebih kritis.
Dalam kajian sejarah Indonesia, semakin banyak kalangan yang berpendapat bahwa sejumlah narasi besar yang telah lama diterima secara umum sesungguhnya perlu ditinjau ulang. Pendapat ini muncul seiring berkembangnya penelitian akademik dan keterbukaan terhadap dokumen-dokumen serta kesaksian yang sebelumnya tidak mendapat tempat.
Beberapa peristiwa dan tokoh penting kini mulai dilihat melalui perspektif yang lebih kritis dan beragam. Misalnya, narasi tentang peristiwa G30S/PKI yang dahulu sangat berpihak pada versi resmi Orde Baru, kini banyak dikaji ulang dengan mempertimbangkan peran propaganda dan kekerasan terhadap jutaan orang tanpa proses hukum.
Tokoh seperti Tan Malaka dan Sutan Sjahrir pun mulai mendapatkan pengakuan lebih besar atas kontribusi pemikiran dan perjuangan mereka, setelah sebelumnya kurang disorot atau bahkan dicap negatif.
Hal yang sama terjadi dalam narasi tentang Papua, Aceh, dan Timor Timur, yang kini lebih dilihat dari sudut pandang masyarakat lokal yang mengalami ketidakadilan struktural. Bahkan peran perempuan dalam perjuangan kemerdekaan, yang dulu direduksi dalam narasi simbolik, kini dikaji lebih dalam sebagai agen perubahan yang aktif.
Selain itu, sejarah kerajaan-kerajaan kecil dan komunitas adat, serta kekerasan kolonial Belanda, juga semakin mendapat perhatian dalam kajian sejarah alternatif. Revisi terhadap narasi Proklamasi 1945 pun menyoroti pentingnya peran pemuda dan masyarakat dalam mendorong kemerdekaan, bukan semata keputusan elite politik.
Banyak yang menilai bahwa upaya revisi sejarah di Indonesia pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari konteks kekuasaan yang membentuk narasi resmi di masa lalu, khususnya pada era Orde Baru.
Sebagai rezim yang sangat dominan dalam mengontrol pendidikan, media, dan penyebaran informasi, Orde Baru membentuk sejarah nasional dengan tujuan mempertahankan legitimasi kekuasaan. Karena itu, ketika sejarah direvisi, yang sebenarnya sedang ditinjau ulang adalah konstruksi naratif yang dibuat oleh rezim tersebut.
Hal ini mencakup penghapusan tokoh-tokoh tertentu dari wacana publik, penyeragaman pandangan atas peristiwa penting, serta penciptaan kesan bahwa versi negara adalah satu-satunya kebenaran sejarah.
Maka tidak heran jika proses revisi sejarah seringkali diartikan sebagai upaya untuk membongkar “sejarah rezim” yang selama ini dominan. Namun, hal ini bukan berarti menghapus sejarah yang lama, melainkan memperkaya pemahaman kolektif kita agar lebih adil dan inklusif. Sebab, sejarah semestinya dipahami sebagai ilmu yang terbuka terhadap pembacaan baru, bukan sekadar alat kekuasaan untuk mempertahankan narasi tunggal.
(Penulis : Umi Hanifah Content Writer Pintasan. Co)
Di Balik Buku Sejarah: Dari Propaganda Orde Baru Menuju Kebenaran yang Inklusif
Tim Redaksi