Pintasan co, Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, berhasil meraih gelar doktor setelah menyelesaikan ujian terbuka doktoral di Program Pascasarjana Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia (UI) di Depok, pada Rabu (16/10/2024).
Gelar ini diperolehnya setelah mempertahankan disertasi yang berjudul “Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia.”
Tema yang diangkat dalam disertasi Bahlil sangat relevan dengan perannya sebagai Menteri ESDM, di mana ia telah terlibat secara langsung dalam proses hilirisasi nikel di Indonesia.
Hilirisasi nikel menjadi salah satu kebijakan strategis dalam mendukung pengembangan industri nasional dan peningkatan nilai tambah sumber daya alam.
Bahlil menjelaskan bahwa melalui disertasi ini, ia ingin menguji secara akademik sejauh mana kebijakan yang diterapkan pemerintah selama ini sudah tepat dan apa saja yang perlu diperbaiki.
“Sebagai seorang menteri, tugas saya adalah memastikan hilirisasi berjalan dengan baik. Lewat disertasi ini, saya ingin mengkaji apakah kebijakan yang selama ini kita jalankan sudah sesuai.
Jika sudah bagus, kita perlu memperkuatnya, tetapi jika masih ada kekurangan, kita harus tahu apa yang perlu diperbaiki,” ungkap Bahlil dalam sambutannya setelah sidang di Kampus UI, Depok.
Proses penyusunan disertasi yang memakan waktu dua tahun atau empat semester ini, menurut Bahlil, bukanlah hal yang mudah. Selain harus mengemban tugas sebagai pejabat publik, ia juga harus mampu membagi waktu dengan baik untuk menyelesaikan studinya.
Namun, berkat konsistensi dan komitmen yang tinggi terhadap pendidikan, ia berhasil menyelesaikan program doktoralnya tepat waktu.
“Yang paling sulit tentu saja adalah soal manajemen waktu. Menjadi pejabat publik sekaligus mahasiswa doktoral bukanlah hal yang mudah. Namun, saya adalah orang yang sangat konsisten soal waktu, terutama dalam hal pendidikan. Dari zaman saya mahasiswa S1, saya sudah terbiasa disiplin dalam hal waktu,” tuturnya.
Dalam disertasinya, Bahlil memaparkan empat permasalahan utama yang dihadapi dalam implementasi hilirisasi nikel di Indonesia. Pertama, adanya ketimpangan dana transfer daerah yang belum sepenuhnya mendukung hilirisasi.
Kedua, minimnya keterlibatan pengusaha daerah dalam proses hilirisasi nikel. Ketiga, keterbatasan partisipasi perusahaan nasional dalam sektor hilirisasi yang bernilai tambah tinggi. Dan keempat, belum adanya rencana diversifikasi pasca-tambang yang komprehensif.
Sebagai solusi atas permasalahan tersebut, Bahlil merekomendasikan empat kebijakan utama yang perlu dilakukan. Pertama, perlu adanya reformulasi alokasi dana bagi hasil terkait aktivitas hilirisasi. Kedua, perlu penguatan kebijakan kemitraan dengan pengusaha daerah agar keterlibatan mereka lebih signifikan.
Ketiga, penyediaan pendanaan jangka panjang bagi perusahaan nasional yang bergerak di sektor hilirisasi. Dan keempat, mewajibkan para investor untuk melakukan diversifikasi jangka panjang setelah masa tambang selesai.
Sidang terbuka yang dipimpin oleh Prof. Dr. I Ketut Surajaya, S.S., M.A sebagai ketua sidang, berlangsung dengan lancar. Promotor dalam sidang tersebut adalah Prof. Dr. Chandra Wijaya, M.Si., M.M yang didampingi oleh dua ko-promotor yaitu Dr. Teguh Dartanto, S.E., M.E dan Athor Subroto, Ph.D. Sementara panel penguji terdiri dari lima orang, yaitu Dr. Margaretha Hanita, S.H., M.Si., Dr. A. Hanief Saha Ghafur, Prof. Didik Junaidi Rachbini, M.Sc., PhD., Prof. Dr. Arif Satria, S.P., M.Si., dan Prof. Dr. Kosuke Mizuno.
Dengan keberhasilannya meraih gelar doktor ini, Bahlil diharapkan semakin memperkuat posisinya dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan hilirisasi nikel yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan, guna mendukung pembangunan ekonomi yang lebih merata di Indonesia.