Pintasan.co, Jakarta Kuasa hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, yang merupakan tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula pada 2015-2016 di Kementerian Perdagangan, menegaskan bahwa kliennya tidak menerima keuntungan apapun dari aktivitas impor gula tersebut.

“Dia tidak menerima fee atau keuntungan, baik untuk dirinya maupun pihak lain. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” ujar Ari saat ditemui di Gedung Kejaksaan Agung pada Jumat malam (1/11).

Ari juga menjelaskan bahwa dalam pemeriksaan yang berlangsung selama 10 jam pada hari tersebut, Tom Lembong ditanyakan mengenai berbagai dokumen yang dikeluarkan selama masa jabatannya sebagai Menteri Perdagangan, termasuk surat-surat yang diterima oleh kliennya.

Menurut Ari, Tom Lembong menegaskan bahwa seluruh kebijakan yang diambil selama menjabat sebagai Menteri Perdagangan telah sesuai dengan prosedur yang berlaku, dan ia tidak memiliki kepentingan pribadi terkait kebijakan impor gula tersebut.

Ari menambahkan bahwa Tom Lembong juga mengungkapkan tidak mengenal para pihak yang ditunjuk terkait dengan impor gula pada periode 2015-2016 tersebut.

Menurut informasi yang disampaikan oleh Kejaksaan Agung, pada Januari 2016, Tom Lembong menandatangani surat penugasan untuk PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan stok gula nasional dan menjaga stabilitas harga gula melalui kerjasama dengan produsen gula domestik.

Kerja sama ini bertujuan untuk mengolah 300.000 ton gula kristal mentah menjadi gula kristal putih.

Selanjutnya, PT PPI mengadakan perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan yang ditunjuk.

Kejaksaan Agung menegaskan bahwa, seharusnya, untuk memenuhi kebutuhan gula dan menjaga kestabilan harga, yang diimpor adalah gula kristal putih langsung, dan impor tersebut hanya dapat dilakukan oleh BUMN, dalam hal ini PT PPI.

Baca Juga :  Mantan Capres Anies dan Ganjar Bahas Kepastian Hukum dan Keadilan di Bali

Namun, dengan persetujuan dari Tom Lembong, impor gula kristal mentah disetujui dan diproses.

Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa delapan perusahaan yang diberi tugas mengolah gula kristal mentah tersebut sebenarnya hanya memiliki izin untuk memproduksi gula rafinasi.

Akibat perbuatan ini, PT PPI memperoleh keuntungan sebesar Rp105 per kilogram dari delapan perusahaan yang terlibat.

Kejaksaan Agung menghitung bahwa negara mengalami kerugian sekitar Rp400 miliar, yang seharusnya menjadi keuntungan yang diperoleh BUMN, yakni PT PPI, namun justru jatuh ke tangan delapan perusahaan swasta.