Pintasan.co – Budaya foto pre-wedding telah menjadi tren di kalangan pasangan yang akan menikah, terutama di kalangan generasi muda.

Aktivitas ini biasanya dilakukan untuk mengabadikan momen menjelang pernikahan dalam bentuk foto-foto estetis yang nantinya digunakan sebagai bagian dari dekorasi acara pernikahan atau untuk keperluan promosi acara tersebut di media sosial.

Namun, dalam perspektif Islam, budaya ini memiliki berbagai aspek hukum yang perlu dipertimbangkan, tergantung pada bagaimana pelaksanaannya.

1. Prinsip Dasar Hukum Islam

Dalam Islam, hukum setiap aktivitas sangat bergantung pada niat (niyyah) dan tata cara pelaksanaannya. Aktivitas yang pada dasarnya mubah (boleh) dapat menjadi haram jika dilakukan dengan melanggar syariat. Oleh karena itu, foto pre-wedding harus dilihat dari dua aspek utama:

  • Adab dalam Berpakaian: Islam menetapkan aturan menutup aurat baik untuk laki-laki maupun perempuan.
  • Interaksi antara Laki-Laki dan Perempuan: Islam membatasi interaksi antara pria dan wanita yang bukan mahram untuk menjaga kehormatan dan kesucian.

2. Aurat dan Busana dalam Foto Pre-Wedding

Salah satu syarat sahnya aktivitas dalam Islam adalah tidak melanggar aturan aurat. Dalam foto pre-wedding, seringkali pasangan mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan syariat, seperti pakaian yang terlalu ketat, minim, atau tidak menutup aurat dengan sempurna. Jika ini terjadi, maka hukum aktivitas ini menjadi tidak diperbolehkan.

Namun, jika pasangan tetap menjaga aurat sesuai dengan ketentuan syariat, maka aktivitas ini secara umum dapat dibolehkan, dengan catatan bahwa niat dan tujuan dari foto tersebut harus sesuai dengan nilai-nilai Islam.

3. Interaksi antara Calon Pengantin

Dalam Islam, seorang laki-laki dan perempuan yang belum menikah tetap dianggap bukan mahram meskipun mereka sudah bertunangan. Maka, segala bentuk interaksi fisik, seperti bersentuhan, berpelukan, atau bergandengan tangan dalam foto pre-wedding, dilarang oleh syariat. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Surah Al-Isra ayat 32:

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

Apabila foto pre-wedding dilakukan dengan menjaga jarak fisik yang sesuai syariat dan diatur sedemikian rupa agar tetap terjaga adabnya, maka hal ini dapat dianggap mubah (boleh).

Baca Juga :  Puasa Kafarat, Penghapus Dosa dalam Khazanah Islam

4. Niat dan Tujuan

Islam sangat menekankan pentingnya niat dalam setiap perbuatan. Foto pre-wedding yang dilakukan dengan niat untuk mengabadikan momen dengan cara yang sesuai syariat dan tanpa unsur riya (pamer) atau tabarruj (berlebihan) dapat dikategorikan sebagai aktivitas yang netral dari sudut pandang hukum Islam.

Namun, jika tujuan utamanya adalah untuk memamerkan kekayaan, kecantikan, atau kemewahan, maka hal ini bertentangan dengan nilai kesederhanaan yang diajarkan Islam.

5. Pendapat Ulama

Pendapat ulama tentang foto pre-wedding cukup beragam:

  • Ulama yang Membolehkan: Sebagian ulama membolehkan aktivitas ini selama tidak melanggar batas-batas syariat, seperti menjaga aurat, menghindari sentuhan fisik, dan tidak ada niat pamer.
  • Ulama yang Melarang: Sebagian ulama lainnya cenderung melarang karena khawatir akan membuka pintu maksiat, menormalisasi interaksi yang tidak sesuai syariat, dan mendorong gaya hidup hedonis.

Budaya foto pre-wedding dalam Islam bukanlah hal yang mutlak haram atau halal. Hukumnya tergantung pada pelaksanaannya, termasuk aspek pakaian, interaksi, niat, dan tujuan.

Sebagai umat Islam, penting untuk selalu berhati-hati dalam mengikuti budaya modern agar tidak melanggar nilai-nilai syariat.

Jika ragu, konsultasikan kepada ulama atau ustaz terpercaya untuk mendapatkan nasihat yang sesuai dengan kondisi masing-masing.

Dengan tetap menjaga nilai-nilai Islam, pasangan calon pengantin dapat merayakan kebahagiaan mereka dengan cara yang penuh berkah.