Pintasan.co, Jakarta – Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Republik Indonesia, Natalius Pigai, menyatakan bahwa koruptor bisa dikategorikan sebagai pelanggar hak asasi manusia (HAM) karena tindakan mereka merampas hak-hak masyarakat.
Pigai menegaskan bahwa meski tidak termasuk pelanggar HAM berat, para koruptor telah menyebabkan penderitaan rakyat melalui kemiskinan, serta terbatasnya akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang layak.
“Para pelakunya sebenarnya bisa masuk kategori pelanggar HAM. Bukan pelanggar HAM berat, ya. Mereka melakukan pelanggaran HAM,” ujar Pigai di Graha Pengayoman, Jakarta, Selasa (31/12/2024).
Pigai juga menambahkan bahwa tindakan korupsi berakibat pada hilangnya hak-hak dasar masyarakat, seperti hak atas pendidikan, kesehatan, pangan, serta ketahanan energi.
Ia menegaskan bahwa korupsi adalah perbuatan yang tidak boleh dibiarkan, mengingat dampaknya yang besar terhadap kehidupan rakyat.
Dalam kesempatan tersebut, Pigai turut menanggapi vonis ringan yang dijatuhkan kepada koruptor IUP timah, Harvey Moeis dan Helena Lim, yang lebih rendah dari tuntutan jaksa.
Pigai mengungkapkan bahwa ia memahami kekecewaan publik atas keputusan tersebut, meskipun ia menghormati independensi majelis hakim.
Namun, menurutnya, hukuman yang dijatuhkan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.
“Ada keprihatinan yang kita harus ungkapkan. Saya harus menyampaikan ada sebuah keprihatinan ketidakpuasan di publik. Oleh karena itu, harus memberikan hukuman itu juga harus sesuai dengan perbuatan,” kata Pigai, yang menegaskan bahwa keadilan harus dirasakan oleh masyarakat.
Seperti diketahui, Harvey Moeis dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan penjara, serta uang pengganti Rp210 miliar subsider 2 tahun penjara.
Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa yang meminta 12 tahun penjara.
Sementara itu, Helena Lim divonis 5 tahun penjara, denda Rp750 juta subsider 6 bulan penjara, dan uang pengganti Rp900 juta subsider 1 tahun penjara, yang juga lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa yang mencapai 8 tahun penjara.
Pigai mengungkapkan bahwa keputusan tersebut menunjukkan adanya ketidakadilan dalam proses hukum yang harus diperbaiki agar memberikan rasa aman dan adil bagi masyarakat.