Pintasan.co, Semarang – Badan Persaudaraan Antariman Jawa Tengah (Berani Jateng) turut melestarikan tradisi dengan hadir dalam acara Nyadran di Komplek Pemakaman Panggung, Kelurahan Kranggan, Kecamatan Ambarawa, pada Jumat (31/1/2025).
Nyadran merupakan salah satu tradisi budaya Jawa yang memiliki peran penting dalam memperkuat keberagaman dan persaudaraan antar umat beragama.
Sejak pagi, warga dari lingkungan Legoksari, Patoman, dan Kepatihan, Kelurahan Kranggan, Kecamatan Ambarawa, sudah berkumpul di komplek pemakaman.
Warga dari berbagai usia, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, bersama-sama mengikuti tradisi nyadran yang rutin digelar setiap tahun.
Sekretaris Wilayah Berani Jateng, Nadiro Anggawa Brana, juga hadir dalam acara tersebut.
Ia menegaskan bahwa tradisi nyadran ini berperan penting dalam menjaga keberagaman dan mempererat persaudaraan lintas agama.
“Dengan berkembang pesatnya teknologi dan budaya, jangan sampai kita melupakan ajaran luhur dari pendahulu kita yang didalamnya mengandung nilai nilai untuk menjaga persatuan, keberagaman, toleransi, dan rasa saling berbagi antar masyarakat di suatu lingkungan,” ujarnya
Dia menjelaskan bahwa Nyadran adalah tradisi masyarakat Jawa yang dilakukan untuk menyambut bulan Ramadan. Tradisi ini melibatkan serangkaian upacara yang umumnya dilakukan oleh masyarakat Jawa, khususnya di Jawa Tengah.
Kata “Nyadran” berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu “sraddha” yang berarti “keyakinan”. Nyadran sendiri merujuk pada tradisi pembersihan makam yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama di daerah pedesaan.
Proses Nyadran dimulai dengan kegiatan besik, yaitu membersihkan makam leluhur atau keluarga dari rumput dan kotoran.
Kemudian, dilanjutkan dengan ziarah kubur untuk mendoakan leluhur dan keluarga yang telah meninggal. Acara ditutup dengan makan bersama sebagai bentuk penghormatan dan kebersamaan.
Nyadran, yang dalam sejarahnya merupakan hasil akulturasi antara budaya Jawa dan Islam, pada pelaksanaannya di lingkungan Legoksari, Patoman, dan Kepatihan diikuti tidak hanya oleh warga yang beragama Islam, tetapi juga oleh masyarakat dari berbagai agama, seperti Katolik, Kristen, Hindu, dan Buddha.
“Hal ini merupakan bentuk sarana guna melestarikan budaya gotong royong dan tepo sliro yang merupakan ajaran luhur masyarakat Jawa,” paparnya.