Pintasan.co, JakartaFadli Zon, Menteri Kebudayaan, menilai bahwa penulisan sejarah Indonesia dengan nuansa (tone) yang positif bertujuan untuk menciptakan persatuan di antara rakyat, karena jika tidak, perpecahan akan terjadi.

Fadli menyatakan bahwa penulisan sejarah tidak lagi memiliki nilai penting jika hal itu justru memecah-belah bangsa.

“Jadi, kita tentu tone-nya itu adalah dalam sejarah untuk mempersatukan kebenaran bangsa. Untuk apa kita menulis sejarah untuk memecah-belah bangsa,” ujar Fadli Zon di Jakarta dilansir dari Antara, Jumat (6/6/2025).

Bahkan, dia pun menjelaskan arti dari tone positif dalam penulisan sejarah, yang berarti tidak berusaha menemukan kesalahan dari masa lalu. “Di masa-masa itu, pasti ada kelebihan, ada kekurangan. Ini kan juga lebih banyak highlight ya, lebih banyak garis besar. Kita ingin menonjolkan pencapaian-pencapaian, prestasi-prestasi, prioritas-prioritas, dan juga peristiwa-peristiwa pada zaman (lampau) itu,” ucapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Fadli juga merespons kekhawatiran sejumlah kelompok akademisi dan aktivis yang khawatir proyek penulisan sejarah itu akan menjadikan hanya ada satu narasi sejarah resmi yang dianggap benar.

Dalam kesempatan yang sama, Fadli pun memberikan tanggapan terhadap kekhawatiran beberapa kelompok akademisi dan aktivis yang khawatir bahwa proyek penulisan sejarah akan menjadikan hanya ada satu narasi sejarah resmi yang dianggap.

Menteri Kebudayaan itu pun mengatakan bahwa kekhawatiran tersebut tidak perlu ada, karena proyek penulisan sejarah yang diprakarsai oleh pemerintah dikerjakan oleh berbagai sejarawan dari berbagai kampus terkemuka di Indonesia.

“Jadi, yang menulis bukan aktivis, bukan politikus. Yang menulis sejarawan, sejarawan ini punya keahlian. Mereka doktornya di bidang itu, profesornya di bidang itu. Jadi, kita tidak perlu khawatir, pasti (mereka) punya kompetensi dalam menulis sejarah,” imbuh Fadli.

Dia juga menyatakan bahwa kekhawatiran muncul ketika proyek penulisan sejarah Indonesia dikerjakan oleh aktivisme dengan sudut pandang yang berbeda-beda.

“Sejarah tidak bisa ditulis oleh politikus, apalagi yang resmi, atau semacam itu. Tidak bisa ditulis oleh misalnya (pihak lain non-sejarawan). Tetapi, kalau orang mau menulis sejarahnya sendiri-sendiri juga bebas, ini negeri demokrasi,” tuturnya.

Fadli menegaskan bahwa penulisan sejarah bangsa telah menjadi program utama sejak awal masa jabatannya, mengingat sudah terlalu lama tidak ada pembaruan dalam sejarah Indonesia. Padahal, terdapat banyak penemuan yang seharusnya dimasukkan ke dalam kompendium sejarah Indonesia.

“Jadi, sudah lebih dari 26 tahun kita tidak pernah menulis sejarah kita. Jadi, kalau ada yang baru, ya banyak yang baru, karena memang tidak pernah ditulis. Belum lagi, yang sifatnya penemuan-penemuan, updating. Contohnya, lukisan purba tertua di dunia itu sekarang ada di Indonesia. Itu tidak ada dalam sejarah kita,” tutur Fadli.

Bahkan, dia pun mencontohkan adanya temuan Islam masuk Indonesia ternyata dari Abad Ke-7 Masehi, atau Abad Ke-1 Hijriah.

“Ini bisa meng-update sejarah kita yang selama ini mengatakan Islam masuk itu Abad Ke-13. Itu beda 600 tahun sendiri. Belum lagi dari sisi zaman perlawanan kita kalau ada Kolonial Belanda, kita ingin perspektifnya itu menekankan kepada sejarah perlawanan para pahlawan kita terhadap penjajah. Jadi, bukan hanya sekadar dikatakan kita dijajah 350 tahun, tetapi kita ingin ada justru ditonjolkan Indonesia-centric, perlawanan kita kepada kolonial, kepada penjajah,” ungkap Fadli.

Baca Juga :  Beruntung! Guru SD yang Ajarkan Muridnya Setrika Baju Dapat Hadiah dari Dedi Mulyadi