Pintasan.co, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan bahwa pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) nasional dan daerah akan dilakukan secara terpisah mulai tahun 2029.
Artinya, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku pada periode tersebut.
Putusan ini menyatakan bahwa pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden akan dipisahkan dari pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah.
Ketua MK Suhartoyo menyampaikan bahwa langkah ini bertujuan untuk menciptakan pemilu yang lebih berkualitas, sederhana, dan memberikan kenyamanan bagi pemilih dalam menunaikan hak politiknya.
Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa pelaksanaan pemilu legislatif dan eksekutif nasional yang terlalu dekat waktunya dengan pemilihan kepala daerah membuat masyarakat kesulitan mengevaluasi kinerja pemerintahan hasil pemilu sebelumnya.
Selain itu, isu-isu lokal kerap tersisih oleh dominasi agenda nasional.
Wakil Ketua MK Saldi Isra menegaskan pentingnya memastikan pembangunan daerah tetap menjadi fokus, meskipun di tengah riuhnya persaingan politik tingkat nasional.
Ia menyatakan bahwa permasalahan lokal tidak boleh tertutupi oleh narasi besar politik pusat.
Mahkamah juga mempertimbangkan dampak jangka pendek terhadap kestabilan internal partai politik.
Menurut hakim Arief Hidayat, pelaksanaan pemilu dalam rentang waktu sempit mendorong partai-partai terjebak dalam pendekatan pragmatis, mengabaikan ideologi dan visi jangka panjang.
Partai juga dinilai kesulitan mempersiapkan kader untuk berbagai tingkat kontestasi secara bersamaan.
Lebih lanjut, dari sisi pemilih, pelaksanaan pemilu yang berdekatan dinilai berpotensi menimbulkan kejenuhan politik, yang dapat berdampak pada kualitas pilihan yang diambil masyarakat.
Putusan ini merupakan hasil dari permohonan uji materi yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Dalam permohonannya, Perludem menilai bahwa frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” dalam Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu bertentangan dengan konstitusi dan seharusnya tidak memiliki kekuatan hukum.