Pintasan.co, Jakarta – Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia resmi mencabut nama Presiden Soeharto dari Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 yang memerintahkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Keputusan ini disepakati dalam rapat paripurna MPR pada periode 2024-2029 yang digelar di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, pada Rabu, 25 September 2024.Keputusan ini menandai langkah simbolis dalam penataan ulang memori politik bangsa pasca-reformasi.

Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyatakan bahwa penyebutan nama Soeharto dalam Tap MPR tersebut secara pribadi telah selesai dilaksanakan, mengingat mantan presiden tersebut telah meninggal dunia.

“Terkait penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam Tap MPR Nomor 11/MPR 1998, secara pribadi, Bapak Soeharto dinyatakan selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah meninggal dunia,” ucap Bamsoet dalam rapat tersebut.

Langkah ini tidak muncul secara tiba-tiba. Ini merupakan tindak lanjut dari surat yang diajukan Fraksi Partai Golkar pada 18 September 2024. Dalam surat itu, Golkar meminta MPR mengkaji kembali Pasal 4 Tap MPR Nomor XI/MPR/1998, yang secara khusus menyebutkan nama Soeharto dalam kaitan dengan upaya pemberantasan KKN.

Meski demikian, Golkar tidak meminta pencabutan sepenuhnya terhadap Tap MPR 1998, melainkan hanya pencoretan nama Soeharto dengan tetap menjaga substansi dari Tap tersebut.Meskipun nama Soeharto dicabut dari Tap MPR, Bamsoet menegaskan bahwa ketetapan hukum mengenai pemberantasan KKN tersebut tetap berlaku.

Hal ini dikarenakan Tap MPR Nomor I/MPR/2003 menyatakan bahwa semua ketetapan MPR yang bersifat strategis dan mendasar masih berlaku. Dengan demikian, meski Soeharto tidak lagi menjadi bagian dari catatan sejarah dalam dokumen resmi tersebut, prinsip pemberantasan KKN yang ditetapkan di era Reformasi tetap dijunjung tinggi.

Baca Juga :  MPR: Pejabat Tidak Hanya Dinilai Kinerja Tetapi Perilaku

Selain itu, Bamsoet menyampaikan bahwa pimpinan MPR akan memberikan surat jawaban kepada keluarga Soeharto sebagai bentuk penghormatan. “Setelah kita mengundang keluarga Bung Karno kemarin, seluruh rakyat terharu dalam suasana yang sangat hikmat, maka tanggal 28 dan 29 September kita akan mengundang keluarga Pak Harto dan keluarga Gus Dur untuk menerima surat jawaban dari MPR,” katanya.

Acara ini diharapkan akan menjadi momen yang penuh makna bagi keluarga tokoh-tokoh penting dalam sejarah Indonesia.Langkah untuk mencabut nama Soeharto dari Tap ini mendapat dukungan dari beberapa fraksi di MPR, termasuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang juga mengajukan surat serupa mengenai tokoh-tokoh nasional yang tertunda pengakuannya sebagai pahlawan.

Bamsoet menambahkan bahwa surat-surat tersebut bersifat administratif dan tidak menjadi produk hukum.“Dua tokoh ini, Soeharto dan Gus Dur, memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia, tetapi gelar pahlawan bagi mereka masih terhambat oleh beberapa isu.

Pencabutan nama ini mungkin bisa membuka jalan bagi pengakuan lebih lanjut terhadap jasa-jasa mereka,” ungkap Bamsoet.Dengan demikian, keputusan ini menjadi salah satu langkah penting dalam sejarah politik Indonesia pasca-reformasi.

Bagi sebagian kalangan, ini menjadi penutup simbolis bagi babak lama, sementara bagi yang lain, ini adalah pengingat bahwa reformasi dan perjuangan melawan KKN harus terus berlanjut, terlepas dari tokoh-tokoh yang ada di baliknya.