Pintasan.co, Jakarta – Indonesia adalah negara hukum, hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 olehnya sebagai negara hukum, Indonesia memiliki tantangan untuk mewujudkan nilai-nilai hukum dalam segala aspek kehidupan di Indonesia.
Artinya, setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan bernegara harus berlandaskan hukum.
Namun, faktanya hingga saat ini ada banyak penyakit kronis dalam sistem penegakan hukum di Indonesia yang belum dapat disembuhkan secara total, penyakit-penyakit itu diantaranya adalah intervensi penegakan hukum, kurangnya profesionalisme aparat penegak hukum serta tumpang tindih regulasi yang masih banyak terjadi di Indonesia.
Sebagai Ketua Bidang Hukum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Periode 2024-2026 saya berharap bahwa di era Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka yang telah bersumpah dan berjanji menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2024 – 2029 pada oktober kemarin ini memiliki komitmen untuk mewujudkan reformasi dan supremasi hukum untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan.
Komitmen Indonesia untuk menjadi negara maju haruslah dimulai dengan reformasi dan supremasi hukum. Saya tau ini adalah tantangan berat dan besar bagi siapapun yang memimpin Indonesia saat ini, termasuk pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang baru.
Namun tugas berat ini, merupakan amanah konstitusi yang juga adalah inti dari gagasan besar para founding fathers kita, bahwa cita-cita Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat) haruslah dapat mewujudkan. Terutama dalam penegakan hukum kita yang berbasis keadilan bagi seluruh masyarakat (distributive justice).
Menurut saya gebrakan positif pemerintah dalam reformasi hukum nasional sudah cukup positif sejak pengesahan KUHP baru (Undang-Undang No. 1 Tahun 2023) upaya untuk menggantikan KUHP lama warisan kolonial Belanda yang menjadi tonggak penting bagi kemajuan aturan pidana di Indonesia.
Selain itu pemerintah telah mengesahkan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan juga menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 17 Tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat sebagai bentuk komitmen terhadap pemenuhan pemulihan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat tanpa meninggalkan penyelesaian jalur yudisial yang terus berproses. Trend positif ini tentu haruslah kita lanjutkan di era rezim baru.
Ada banyak yang telah dimulai oleh Pak Jokowi sebagai upaya reformasi dan supremasi hukum nasional. Kami dari PB HMI juga memiliki beberapa catatan kritis untuk membangun dan mendorong reformasi dan supremasi hukum nasional ini.
Kasus pelanggaran HAM berat yang tuntas
Catatan kami ini akan kami serahkan langsung ke Presiden Prabowo. Salah satu yang menjadi catatan kami tersebut adalah upaya kami untuk memaksimalkan Keppres yang sudah dua tahun diterbitkan, bahwa sampai saat ini belum ada kasus pelanggaran HAM berat yang tuntas.
Dan bukan hanya itu, variabel penegakan hukum perkara pelanggaran HAM berat dalam Indeks Pembangunan Hukum Tahun 2022 menunjukkan skor 0,37 – masuk dalam kategori buruk.
Sebagai kader hukum nasional, saya berharap agar regulasi hukum pidana di Indonesia juga semakin di perkuat untuk mengakomodasi kebutuhan publik, sehingga tidak lagi cenderung membuat masyarakat miskin dan kelompok rentan mudah untuk dikriminalisasi, dan serta menutup ruang bagi para oknum aparat penegak hukum melakukan tindakan yang sewenang-wenang.
Hukum harus dijalankan secara transparan, akuntabel dan adil, sehingga tidak ada lagi perlakuan yang salah, terlanggar hak-hak konstitusinya dan kualitas hidupnya, atau bahkan dalam beberapa kasus, justru mengalami kekerasan oleh oknum aparat penegak hukum.
Sebagai seorang advokat dan aktivis, saya mengalami sendiri ketika beberapa kali melakukan pendampingan kepada para korban kriminalisasi akibat tidak adanya transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam penegakan hukum. Padahal korban, saksi dan pelaku sekalipun dalam hukum memiliki hak sama di depan hukum yang harus kita jaga dan lindungi.
Praktik-praktik yang selama ini dijalankan oleh aparat penegak hukum sarat akan pendekatan crime control yang seringkali justru telah mengabaikan asas praduga tak bersalah dan hak-hak tersangka dalam proses peradilan, serta memberikan kewenangan yang sangat besar bagi Polisi dalam melakukan investigasi.
Sebagai contoh yang masih membekas di kepala saya adalah pada penertiban demonstrasi atau massa aksi oleh oknum-oknum polisi yang seringkali tidak sesuai prosedur dan sarat dengan praktik kekerasan oleh oknum Polisi, seperti yang terjadi pada aksi Reformasi Dikorupsi pada 2019, Darurat Demokrasi 2024 dan Jihat Konstitusi oleh PB HMI 2024.
Ada banyak rekan-rekan saya sesama aktivis yang menjadi korban penangkapan dengan sewenang-wenang, medapatkan persekusi, intimidasi, hingga ada oknum yang memasuki tempat tinggal tanpa izin, dan penyiksaan. Hal semacam ini tak boleh terjadi lagi di era rezim baru.
PB HMI siap untuk bersinergi bersama Presiden, MA, MK, Kapolri, serta Kementerian
Kamis dari PB HMI tentulah sangat siap untuk bersinergi bersama Presiden, MA, MK, Kapolri, serta Kementerian terkait untuk mewujudkan reformasi dan supremasi hukum nasional yang telah lama kita dicita-citakan. Termasuk dalam mengubah paradigma lama tentang konsep penghukuman (punitif) yang masih berorientasi pada memberikan efek jera kepada pelaku.
Dalam penghukuman perlu ada usaha atau upaya untuk integrasi sosial antara individu atau komunitas yang terdampak suatu kejahatan. Bahwa hukuman penjara bukanlah kebijakan yang harus menjadi pilihan pertama, tetapi merupakan opsi terakhir.
Integrasi sosial ini perlu didukung dengan aktor-aktor di luar sistem peradilan pidana, seperti organisasi dan layanan pendukung dari sektor sosial dan kesehatan masyarakat lainnya.
Saya menyampaikan ini karena berdasarkan riset-riset yang pernah dilakukan, bahwa jika mengedepankan hukuman punitif melalui penjara bukan hanya tidak efektif tetapi juga membutuhkan biaya yang lebih tinggi daripada nonpemenjaraan.
Dalam konteks Indonesia, negara harus mengadili pelaku melalui beberapa tahapannya, mulai dari penyidikan oleh Kepolisian, penuntutan oleh Kejaksaan, pendampingan hukum oleh Advokat, pengadilan oleh Mahkamah Agung, sampai dengan pemasyarakatan. Seluruh proses peradilan pidana tersebut memerlukan sumber daya yang memakan banyak biaya.
Proses cost of crime and criminal justice, biaya yang akan dikeluarkan oleh negara mulai dari biaya makan dan kebutuhan narapidana, transportasi dan logistik selama proses hukum, biaya untuk mencari bukti, dan biaya untuk menghadirkan ahli sangatlah tinggi.
Padahal sumber daya yang besar ini semestinya dapat dialokasikan dengan lebih baik untuk mengintervensi atau diinvestasikan ke hal-hal lain, seperti program pencegahan dan perawatan yang mungkin lebih hemat biaya dalam jangka panjang daripada pemenjaraan.
Catata saya di atas tentunya hanya segelintir point-point yang ingin kami dari PB HMI sinergikan dengan pemerintahan saat ini. Dalam catatan kritis kami masih banyak lagi konteks lain yang membutuhkan komitmen bersama.
#KawalPemerintahan menjadi mitra kritis dan strategis untuk mewujudkan reformasi dan supremasi hukum nasional. Sebab hebat saya, jika hal ini tidak dilakukan atau tidak terjadi tentu stabilitas negara akan terdampak.
Apabila stabilitas negara tidak terjaga, maka dapat berisiko memengaruhi ekonomi dan iklim investasi di Indonesia, lalu mimpi besar membangun Indonesia yang kuat di mata dunia tidak akan terwujud. Sehingga mimpi Indonesia mejadi negara kuat di 2045 adalah mimpi di siang bolong.
Perlu untuk diingat, saat ini Indonesia sedang dalam proses untuk menjadi bagian anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang mewajibkan suatu negara untuk menunjukkan komitmen pada masyarakat demokratis berdasarkan prinsip rule of law dan perlindungan HAM.
PB HMI ingin mengambil bagian untuk mewujudkan hal-hal ini, sebab sejak 1947 HMI telah menjadi bagian dari perjalanan panjang bangsa dan negara Indonesia.
HMI tak pernah absen, terakhir atas berbagai dinamika yang muncul pada Pemilu 2024 kemarin, kita juga bisa melihat bagaimana reformasi hukum dapat dengan mudahnya berbalik arah sesuai dengan kepentingan politik. Sehingga menjadi penting bagi HMI untuk mengingatkan dan mengawal Pemerintahan yang baru ini untuk memastikan kebijakan hukum selalu melibatkan partisipasi publik.
Mengutip pendapat Piquero (2019) dan Sherman (2013), pengetahuan yang kita miliki perlu dikombinasikan dengan keahlian para pakar, mitra pembangunan, pengalaman masyarakat sipil, serta aktor kunci lainnya baik di tingkat pusat dan daerah agar dapat menghasilkan berbagai kebijakan dan praktik berbasis bukti.
Oleh karena itu, HMI berharap selalu dilibatkan didalam menentukan arah kebijakan Presiden, kementerian dan parlemen periode 2024-2029 ini untuk memastikan upaya untuk mewujudkan Indonesia Maju.
Langkah yang besar haruslah dimulai dari langkah kecil. Mari bersama-sama wujudoan reformasi dan supremasi hukum Indonesia. Mari bersama-sama #KawalPemerintahan. Yakin, Usaha, Sampai!
Oleh : Rifyan Ridwan Saleh (Ketua Bidang Hukum, Pertahanan, dan Keamanan PB HMI)