Pintasan.co, Yogyakarta – Sebelum Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) berdiri, seluruh penerbangan menuju Yogyakarta mendarat di Bandara Adisutjipto.

Dibandingkan dengan bandara di kota-kota besar seperti Soekarno Hatta, Juanda, atau Kualanamu, Bandara Adisutjipto dikenal cukup kecil di kalangan wisatawan.

Namun, Bandara Adisutjipto memiliki peran penting dalam sejarah, terutama sebagai pusat perjuangan para tentara Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Sekilas kisah sejarah Bandara Adisutjipto Yogyakarta.

Sebelum dikenal dengan nama “Adisutjipto,” landasan terbang tersebut awalnya disebut Pangkalan Udara Maguwo.

Lokasi ini dibangun pada tahun 1940 dan sempat digunakan oleh tentara Hindia Belanda pada tahun 1942.

Ketika Jepang menjajah Indonesia, mereka mengambil alih penguasaan atas bandara tersebut. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, pangkalan udara itu kemudian dikelola oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Tempat ini digunakan untuk operasional pesawat-pesawat AURI serta sebagai lokasi latihan terbang sekolah penerbangan di Maguwo, yang saat itu dipimpin oleh Agustinus Adisutjipto.

Pada 19 Desember 1948, Landasan Terbang Maguwo menjadi target serangan bom oleh Belanda dalam operasi yang dikenal sebagai Agresi Militer II.

Saat itu, pertahanan TNI di pangkalan udara tersebut hanya terdiri dari 150 prajurit dengan persenjataan yang sangat terbatas, bahkan sebagian senjata dalam kondisi rusak.

Akibatnya, pertempuran untuk merebut pangkalan udara itu berlangsung singkat, hanya sekitar 25 menit. Serangan tersebut menewaskan 128 tentara Indonesia, sementara pihak Belanda tidak mengalami korban jiwa.

Pasca Agresi Militer II, Landasan Udara Maguwo digunakan sebagai lokasi pendaratan pasukan Belanda. Sebanyak 432 anggota pasukan KST tiba terlebih dahulu, diikuti oleh Grup Tempur M yang terdiri dari 2.600 personel, lengkap dengan berbagai persenjataan. Dari tempat inilah mereka memulai misi agresi militer menuju Kota Yogyakarta.

Baca Juga :  Wabup Sleman Memastikan Biaya Pengobatan Korban Keracunan Ditanggung Pemerintah

Setelah Belanda meninggalkan Indonesia, pangkalan udara tersebut kembali dikelola oleh AURI dan namanya diubah menjadi Pangkalan Udara Adisutjipto.

Pangkalan Udara Adisutjipto

Pada tahun 1964, pangkalan ini mulai berfungsi sebagai pelabuhan udara yang melayani penerbangan sipil sekaligus kegiatan militer. Kemudian, pada tahun 1992, bandara ini secara resmi dikelola oleh Perum Angkasa Pura I.

Pada 21 Februari 2004, Bandara Adisutjipto resmi menjadi bandara internasional setelah Garuda Indonesia membuka rute penerbangan Yogyakarta-Kuala Lumpur.

Sejak saat itu, jumlah penumpang dan pesawat yang dilayani oleh bandara tersebut terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Pada 7 Maret 2007, sebuah insiden kecelakaan pesawat terjadi di Bandara Adisutjipto. Pesawat Garuda Boeing 737 yang melayani rute Jakarta-Yogyakarta gagal mendarat dengan sempurna.

Pesawat tersebut tidak dapat berhenti di titik yang seharusnya melaju dengan kecepatan tinggi dan akhirnya menabrak pagar besi bandara.

Pesawat tersebut akhirnya berhenti di area persawahan dalam kondisi terbakar, disusul ledakan yang terdengar beberapa saat kemudian. Insiden ini menyebabkan 22 orang meninggal dunia, sementara 112 penumpang berhasil selamat.

Akibat kejadian ini, pilot pesawat, Kapten Marwoto Komar, ditetapkan sebagai tersangka. Kasus ini menjadi yang pertama di dunia di mana seorang pilot didakwa dalam insiden kecelakaan pesawat.

Pada 29 Maret 2020, seluruh penerbangan dari Bandara Adisutjipto dialihkan ke Bandara Internasional Yogyakarta yang terletak di Kulon Progo.

Pembangunan bandara di Kulon Progo dianggap penting untuk mendukung Yogyakarta sebagai destinasi pariwisata dan untuk mengatasi keterbatasan kapasitas yang dimiliki oleh Bandara Adisutjipto.